KISAH NYATA



KISAH NYATA

            Lembaran lama telah hilang, kini aku akan memulai lembaran baru yang penuh dengan keceriaan dan semangat untuk mencapai impian-impian lama yang selama ini aku abaikan. Aku sangat berharap lembaran lama itu tidak akan pernah lagi muncul dalam kehidupanku. Lembaran lama yang membawaku kepada kemaksiatan yang penuh dengan rasa cinta dan dusta. Lembaran lama dimana aku diperbudak oleh nafsu dan godaan syetan yang terkutuk.
            Aku akan berusaha semampuku untuk tidak kembali ke lembaran lama yang sudah usang itu, biarkan dia hilang dibawa oleh arus waktu dan keadaan. Aku hanya bisa berdo’a agar Tuhan memberikan aku kesempatan unuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah aku torehkan, istiqomahkan hati ini hanya kepadaMu Rabb wahai Yang Maha Membolak Balikan hati ini.

Kamis, hujan, 28 Februari 2013
Masih segar terasa dalam ingatanku, waktu aku sedang duduk manis  belajar mengikuti pelajaran favoritku “KIMIA”. Tiba-tiba seorang guru masuk ke kelas dan langsung menyuruhku untuk mengambil “Buku berwarna Merah”, ketika itu aku gemetaran luar biasa,detak jantuk tak karuan bak berlari 100 Km, nadiku seolah-olah berhenti berdenyut, aliran darahku seakan berhenti mengalir. Aku bingung entah bagaimana lagi dengan buku yang penuh dengan rahasia itu, disetiap kejadian yang terjadi dalam kehidupanku aku selalau menuliskan semua ceritaku pada buku berrwarna merah itu, termasuk persaanku pada kaum Adam yang membawaku kepada kehancuran ddengan akhir yang sia-sia.
Bisikan syetan menggoyahkan hatiku, dengan sangat berat hati aku terpaksa berbohong pada guru yang datang tadi ke kelas bahwa buku tersebut aku tinggal di rumah dan rumahku sangat jauh dari sekolah. Aku pun berpura-pura untuk minta izin ke kamar mandi, padahal aku pergi ke asrama untuk menyembunyikan buku merah itu. Aku waktu itu bersekolah disebuah sekolah yang mengharuskan siswa-siswinya untuk menetap di asrama selama menjadi siswa disekolah itu, dengan peraturan yang super ketat. Aku menyembunyikan buku merah itu dibelakang sebuah gedung kosong yang menurutku satu-satunya tempat untuk si buku yang penuh dengan rahasia itu..
Ternyata ada seorang teman yang melihat aku ketika menyembunyikan buku merah itu dan dia langsung melaporkannya pada guru tadi. Guru yang tadi datang kekelas kini datang lagi dengan wajah yang sangat sedih dengan linangan air mata. Dia mengajakku untuk keluar dari kelas tersebut, dengan berat hati aku pergi mengikuti guru itu smapai kesubah rungan gelap dimana hanya aku dan dia yang ada dalam ruangan itu.
Senyap, sunyi aku terdiam tanpa kata-kata, hanya detak detik jam yang terdengar oleh telinga  dan debaran jantung yang seakan-akan mau copot dari belahan dadaku. Lima menit berlalu, pembicaraan dimulai dengan sebuah pertanyaan yang mebuatku tak karuan.
“Apa benar semua isi buku merah itu?” pertanyaan itu sangat menusuk ke lubuk hatiku yang paling dalam. Ketika itu aku hanya terdiam membisu beberapa menit, dan pada akhirnya aku menceritakan semua kebenaran yang ada dalam buku merah itu dengan linangan air mata membasahi pipi merah muda dengan peneyesalan. Raut wajah yang awalnya senyuman kini berubah menjadi raut wajah kecewa, marah dan mungkin benci. Aku menagis tersedu-sedu dengan penyesalan yang sangat dalam.Semua pertanyaan yang ditujukan padaku, ku jawab denagn jujur dengan liangan air mata.
Diluar ruangan itu ternyata ada dua sosok yang sedang menantiku dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Dalam ruangan itu aku masih saja menagis dengan penyesalan. Aku meminta maaf pada guru tadi dan memintanya untuk mengusap kepalaku yang penuh dengan pertanyaan.
            Tak seorang pun yang mendengar pembicaraan kami, aku pun keluar dai rauangan itu. Dua sosok yang menantiku tadi datang menghampiriku dan menanyakan seribu pertanyaan untukku, aku hanya terdiam dan senyum dan tak mengatakan sepatah katapun, bahkan satu huruf, hanya sebuah senyuman duka, sesal yang dilontarkan oleh bibir yang penuh dengan dosa. Mereka terus bertanya-tanya apa yang terjadi antara aku dan guru tadi yang datang ke kelas. Aku mengajak dua sosok itu ke asrama yang penuh dengan kenangan.
            12.30 siswa-siswa yang lain begitu juga dengan teman-teman satu kelasku tadi berhamuburan dari kelas masing-masing untuk melaksankan sholat Dzuhur dan makan siang atau biasa kami sebut “Isoma” Istirahat, Sholat dan Makan. Aku menangis melihat mereka, mereka tak seorang pun yang melontarkan senyuman dan menyapaku, tatapan mereka yang dulu damai, bersahabat, berubah menjadi tatapan sinis, marah dan mungkin benci. Aku berusaha untuk menutupi kesedihanku dan penyesalan yang mendalam.
            Makan, aku makan dengan tenang, aku tetap sperti biasa mengikui semua peraturan yang telah di buat, makan dengan antrian, sholat Dzuhur berjamah. 13.25 aku mengayunkan kakiku kembali kesekolah untuk mengikuti pelajaran selanjutnya setelah beberapa jam pelajaran kulewati karena berada didalam ruangan interogasi tadi, tanpa memperlihatkan perasaanku yang sesungguhnya kepada semua orang.
            Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran Bahasa asing yang di ajarkan oleh wali kelasku saat itu. Seperti dugaanku, dia menanyakanku mengapa mataku lembam dan tidak bergairah untuk mengikuti pelajarannya. Aku hanya diam dan tersenyum ceria untuk menutup semua kesedihan yang yang melandaku. Aku hanya terdiam dan tertunduk malu, aku malu untuk mencertikan semua masalah yang sedang bersamaku. Aku adalah salah satu murid kesayangan dia, aku tak ingin membuat dia kecewa dengan semua kebenaran buku merah itu.
Akhirnya dia pun mengabaiakanku dengan raut wajah yang penuh dengan pertanyaan. Kemudian kami pun lanjut belajar hingga 15. 15.
            Matahari sudah hampir kembali keperaduanya dengan ceria, tetapi tidak dengan hatiku, aku tak ingin hari itu berlalu, sebab aku sudah tau bahwa besok atau bahkan mungkin nanti malam semua orang akan tahu tentang cerita kebenaran di dalam buku berwarna merah itu yang akan membuatku malu di seumur hidupku. Sore hari pun beralalu dengan sangat cepat, dan susananya masih seperti tadi siang, tak ada seorang pun yang ingin berbicara bahkan menegur dan melontarkan senyuman untukku. Sunggguh sangat menyakitkan untukku.
            Suara adzan Maghrib berkemundang, dan aku sudah berada di mesjid untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah, seusai sholat Maghrib, aku sempatkan untuk membaca kitabNya agar hatiku yang sudah dari tadi siang tak mau di ajak kompromi untuk tenang. Alhamdulillah aku merasa lebih tenang dari sebelumnya, dan bergegas kembali ke asram untuk makan malam dengan suasana yang sama tak ada yang berbicaa denganku.  Sholat Isya  pun berlalu.
            Jam telah menunjukkan 20.15, dan itu adalah malam Jum’at, dimana para santri puterinya mengadakan acara yang bisa kami sebut “ Acara Pensil” atau “ Acara Pentas Seni Islami”,  dimana para santrinya mengembanggkan bakat masing-masing, sperti menyanyi,, berpidato, berpuisi bahkan berdrama dan setiap satu bulan sekali ada acara yang sangat ditunggu-tunggu oleh santri yaitu acara tukaran kado, seluruh santri.
            Aku mengikuti acara tersebut dengan hati yang masih belum tenang, karena di akhir acara tersebut salah satu guru akan memberiikan evaluasi terhadap acara tersebut yang disertai dengan nasihatnya. Aku takut, guru yang tadi siang bersmaku, menceritakan semua tentang cerita yang ada di buku merah itu. Seperti dugaanku, memang benar guru yang tadi siang bersamaku akhirnya menceritakan tentang si buku merah itu, dengan tidak menyebut nama pemilik sibukku merah itu, tetapi sudah tentu, teman-teaman yang lain sudah tahu bahwa akulah si  pemiliki buku merah itu, bahkan mungkin adik kelas juga suda tahu, karena setiap santri yang melaukan kesalahan sudah pasti gosipnya cepat merambat kemana-mana dari mulut kemulut.
            Disudut ruangan itu aku hanya terdiam, dan mencoba untuk  tetap tegar dan menahan bulir  air mata yang sudah berbaris di pelupuk mata dan siap untuk jatuh di pipiku. Aku merasa seolah-olah semua pasang bola  mata tertuju kepadaku, dan aku teringat kepada saudaraku yang bersekolah juga disekolah yang sama denganku. Dia masih duduk dibangku SMP, aku mersa kasihan karena sudah pastti dia juga malu karena ulahku kakaknya yang tidak bisa memberikan contoh yang baik untuknya. Teman-teman dia juga sudah pasti mengucilakn dia, karena ulahku yang sangat memalukan.
            Acara itupun berlalu, aku kembali ke asrama dengan raut wajah yang kusam dan malu, bahkan untuk meminta maaf kepada saudaraku aku tak amapu, karena aku malu. Disepanajang perjalanan menuju asrama, bulir ar amata yang tadi sudah bersiap untuk jatuh, akhirnya menetes perlahan dippiku, yang aku lakukan hanyalah mengusapnya agar tak ada ornag yang melihat bahwa aku sedang bersedih.
            Setibanya di asrama aku langsung melentangkan tikarku untuk merebahkan badan serta memakai selimutku, hingga semua badanku tertutupi oleh selimut yang setia menemaniku selama 5 tahun. Dibalik selimut itu aku menagis sesungggukan, karena sudah pasti besok semua satu sekolahan akan tahu tentang cerita sibuku merah dan yang apling aku takutkan adalah dikeluarkan dari sekolah itu. Aku masih betah disekolah itu, dan masih punya impian agar aku sampai garis finish. Aku masih ingin melanjutkan ceritaku disekolah yang penuh dengan kenangan itu, walaupun harus tinggal di lingkungan asrama, tap dari situ aku banyak mengambil pelajaran, aku tahu betapa sulitnya untuk menjadi seorang yang mandiri, menjadi seorang yang serba bisa, menjadi  orang yang disiplin dalam segala hal, dan aku tahu artinya persaudaraan atau biasa disebut dengan ukhuwah.
            Suasana pun mulai hening, satu persatu penghuni asrama itu muali memejamkan matanya karena mungkin sudah lelah mengikuti pelajaran seta peraturan yang harus di taati. Masih ada satu dua orang yang belajar dan mengerjakan tugas untuk besok. 23.30, mataku masih belum mau di ajak kompromi, dan masih terus mengelurakan air mata penyesalan, takut dan  benci kedapa diriku sendiri. Tiba-tiba, seseorang tadi siang yang menugguiku diluar rungan gelap itu membuka selimutku, dan mengajak berbicara, tapi aku hanya melontarkan senyuman. Ternyata masih ada yang perduli denganku disaat semua orang disekitarku membenciku. Dia mengajakku untuk keluar dari asrama, aku mengikutinya dari belakang dan kami duduk disebuah bangku panjang di bawah sebuah pohon yang rindang yang ditemani oleh indahnya bulan dan bintang-bintang yang bergantian berkedip.
            Aku menghela napas panjang menikmati indahnya malam itu, karena aku  tahu bahwa malam itu adalah malam terakhir aku menikmati malam dalam lingkungan asrama. Dia  hanya tersenyum melihat tingkahku yang dari tadi hanya terdiam dan menikmati semilir angin malam.
Bersambung.....

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Promosi dan Perencaan Program Pemasaran Bank Syari'ah, semoga bermanfaat

Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea

MATEMATIKA EKONOMI