CHANGE
PERUBAHAN (CHANGE)
Perubahan adalah
satu-satunya bukti kehidupan sehingga seharusnya perubahan merupakan hal yang
biasa bagi manusia. Namun, banyak yang tak menyadari bahkan tak merespon
perubahan itu. Banyak orang yang menghadapi perubahan dengan menyangkal masa
depan. Mereka beranggapan cuma cara merekalah yang benar, dan yang lain salah.
Success history mendistorsi peta yang mereka baca. Orang-orang ini membiarkan
dirinya buta terhadap masa depan. Kata Black dan Gregersen, suatu ketika
orang-orang ini akan menjadi fanatik dan beranggapan apa yang diketahuinya
sebagai segala-galanya, dan apa yang tidak diketahuinya
sebagai nothing. Maka habislah masa depan.
Manusia pada dasarnya bisa menerima
perubahan sekalipun kecepatan menerima setiap orang berbeda-beda. Yang terjadi
sesungguhnya, manusia itu enggan “dirubah”, bukan enggan “berubah”. Dalam
konteks manajemen perubahan, seorang pemimpin harus bertindak tak ubahnya
sebagai seorang seniman profesional, yang menggunakan bel perubahan seakan-akan
bukan berasal dari dirinya, melainkan dari orang-orang yang akan mengerjakan
perubahan itu sendiri. Bel ini disebut “a wake up call”,
yaitu bel yang membangunkan yang kita set sendiri, yang begitu berbunyi membuat
kita kesal, namun juga berterimakasih. Kita bangkit dari tidur sekalipun malas
dan kantuk masih melekat.
Sebagian besar kita beranggapan
perubahan itu baru boleh dilakukan kalau ada masalah, saat
memasuki tahap krisis. Padahal, pada saat krisis hampir tidak
mungkin, atau mustahil melakukan perubahan. Perubahan pada saat
sedang berada di titik rendah sangat rawan. Sebab pada saat itu,
Anda sudah tak punya energy dan resources sama sekali untuk mengangkatnya
kembali. Tidak ada kepercayaan, manajer-manajer yang handal
pergi, cash flow defisit, produk unggulan tidak ada, dan seterusnya.
Bahkan yang ada adalah konflik, demo karyawan, hutang dan
tuntutan-tuntutan hukum.
Beranjak dari itu, para ahli
manajemen mulai melihat strategi perubahan terbaik
seharusnya dilakukan pada saat anda sedang mengalami masa
“senang-senang”. Yaitu saat penjualan kita sedang bagus dan semua orang
bangga terhadap lembaganya. Tapi celakanya, justru pada saat ini
manusia-manusia itu tidak tertarik untuk berubah. Mereka mengatakan,
“Kalau tidak ada yang rusak, mengapa harus dirubah”.
Tetapi kita harus dengan berani
mengatakan, “Kalau tidak segera diperbaiki ini akan rusak!” Perubahan pada
tahap ini kita sebut transformasi, yaitu pembenahan manajemen untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Apa yang dapat kita lakukan agar
menjadi lebih baik lagi? Apa saja kesalahan-kesalahan yang telah kita
perbuat?
Inilah seni strategi perubahan. Kita
bekerja dengan paradox, yaitu paradox of change,
yang kurang lebih artinya begini. ”Pada saat perubahan harus
dilakukan, orang-orang merasa tak ada kebutuhan sama sekali, sebaliknya,
pada saat kita dituntut untuk berubah, kita sudah tak punya daya sama
sekali.”
Tapi bagaimana dengan orang-orang
yang mau berubah? Maukah mereka memasuki sesuatu yang baru dengan
gagah berani? Nanti dulu, bukankah memasuki medan baru selalu ada
resikonya. Pertanyaannya adalah, bila kita memasuki “the right track” apakah kita langsung bisa
perform dengan baik? Tentu saja tidak. Setiap permulaan pasti sulit
dan akan banyak ditemui kendala-kendalanya. Tetapi dengan kekonsistenan
dan berani mencoba yang baru, dan terus memperbaiki diri, lama kelamaan
akan perform juga yaitu melakukan “the right thing dan done it
very well”.
Itulah sebabnya diperlukan
keberanian, konsep yang jelas dan cara kerja yang efisien. Tentu saja
tidak semua perubahan seperti ini berakhir dengan sukses. Adakalanya kita
dipaksa merubah sesuatu yang sifatnya sangat mendasar dan tak ada
cara lain selain melakukannya dengan penuh pengorbanan. Kata orang-orang
Korea, kalau tak ada yang mau berkorban tak akan ada perubahan.
Tetapi ini masih belum cukup. Dibutuhkan semacam karakter untuk memimpin perubahan.
Karakter itu sering disebut-sebut sebagai “Lincoln type”, yaitu
kejujuran, rendah hati, cinta kasih, disiplin diri, dan keberanian yang
teguh dalam menghadapi fakta-fakta brutal yang bisa merusak
kehidupan. King dan Gandhi disebut-sebut memiliki karakter itu.
Perubahan
tidak akan mungkin dilakukan dengan hanya merubah sistem
tanpa memperhatikan kesiapan manusia-manusianya. Saya berkeyakinan
manusia sesungguhnya bukan enggan berubah, melainkan perlu menyadari
perubahan itu justru menjadi tuntutan bagi dirinya. Perubahan belum tentu
membawa kemajuan tapi tanpa perubahan tidak akan ada pembaharuan. Maka untuk
berubah diperlukan tiga tahapan yang orang-orang mungkin bisa terhenti pada
tiap tahapnya. Tahap pertama yaitu melihat. Dengan melihat maka kita dapat
mengetahui bagian mana yang harus dirubah. Melihat disini lebih diartikan
mempunyai visi ke depannya. Setelah melihat, perlu bergerak. Bergerak secara
konsisten mewujudkan perubahan tersebut. Walaupun dalam pergerakan tersebut
banyak hambatan, tapi tetap harus bergerak. Jangan sampai tidak bergerak dan
hanya menunggu orang lain yang melakukan perubahan. Tanpa bergerak maka tidak
bisa mencapai perubahan. Dan setelah bergerak, untuk mencapai perubahan dengan
menyelesaikannya. Tidak menyelesaikan apa yang dimulai akan membuat perubahan
tidak terjadi. Menuju perubahan ibarat mengendarai mobil saat melalui tanjakan.
Akan terasa berat bila kecepatan yang digukanakan adalah kecepatan normal.
Perlu ada kecepatan tambahan untuk berhasil menaiki tanjakan. Dan perlu
menyelesaikan tanjakan itu.
Komentar
Posting Komentar